"Siapa kamu?" Aku terus bertanya pada sosok yang terpantul pada cermin di depanku. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Raut wajahnya, sorot matanya, semua yang ada padanya mirip denganku. Tidak. Dia bukan aku, kataku dalam hati. "Siapa kamu?" tanyaku lagi. Tapi sosok itu malah melontarkan pertanyaan yang sama kepadaku. Siapa sebenarnya dia? Pantulan diriku sendiri? Tapi mengapa aku merasa tidak mengenalnya? Jika benar dia adalah aku, jadi, pada siapa sebenarnya aku melontarkan pertanyaan tadi? Diriku sendiri?
Pada sesi pertanyaan selanjutnya, lebih jauh aku bertanya kepada sosok yang mengaku diriku itu. Mengapa kamu berubah? Mengapa kamu tidak tetap saja menjadi bocah polos ingusan? Mengapa tidak tetap saja menjadi bocah yang diam dalam perasaan yang mendalam? Mengapa tak kau biarkan saja perasaan itu ada dalam dirimu dan hanya kau yang tau? Mengapa harus terucap? Aku melontarkan pertanyaan secara bertubi-tubi tanpa membiarkan dia menjawab terlebih dahulu. Dan pertanyaan terakhir membuat hatiku terisisipi oleh sebuah perasaan menyesal yang sulit didefinisikan. Iya.. mengapa.. mengapa harus terucap.. Seketika, nafasku terasa berat. Aku menundukkan kepala, tak lagi menatap sosok di depanku itu.
Semua berubah. Bodoh! Aku memaki diriku sendiri. Mengapa aku baru menyadarinya? Ini sudah terlampau jauh. Iya, terlampau jauh aku meninggalkan teman-temanku. Terlampau jauh aku melangkah untuknya. Terlampau jauh aku pergi meninggalkan diriku yang dulu. "Kembali!" Aku kembali menatap sosok itu. Tapi kali ini dengan tatapan yang berbeda. "Kembalilah! Aku mohon.." Tatapanku nanar, hati tersayat dalam berkata tapi ada sepercik harapan bahwa sosok itu akan memahami apa yang aku ucapkan. "Jangan berubah. Kembalilah pada teman-temanmu, kembalilah jadi kamu yang dulu. I beg you"